Jejak Pangguyangan, Tapak Awal Kehidupan Rohani di Sukabumi, 7500 SM
Rilisan Budaya oleh tarnabhakunews.com

Naskah oleh:
Mbah Udin
“Manusa baheula henteu mung nyiar tuang, tapi ogé nyiar harti – harti hirup, harti alam, jeung harti roh.”
(Begitulah kata orang tua – tua di tanah Pasundan dulu.)
Di antara kabut tipis Gunung Gede dan Gunung Salak, sejarah panjang kehidupan manusia terhampar. Di lereng-lereng Sukabumi yang kini tenang dan sejuk, jejak kehidupan masa prasejarah perlahan terkuak. Salah satunya adalah jejak pangguyangan, tempat suci atau sumber air yang dipercaya sebagai pusat pemujaan dan kehidupan spiritual masyarakat awal sekitar tahun 7500 SM.
Apa Itu Pangguyangan?
Pangguyangan berasal dari kata guyang yang berarti menyiram atau mandi. Tapi dalam konteks budaya Sunda kuno, pangguyangan adalah lebih dari sekadar tempat untuk membersihkan raga—ia adalah tempat pembersihan jiwa. Pangguyangan biasa ditemukan di dekat sumber air alami seperti mata air, pancuran, atau sungai kecil.
Di zaman pra-aksara, masyarakat yang hidup di daerah Sukabumi sudah mulai mengenal bentuk-bentuk awal dari kehidupan spiritual. Mereka menganggap air sebagai entitas suci, penghubung antara manusia dan roh leluhur.

Bukti Arkeologis dan Budaya
Penemuan fragmen alat batu, bekas struktur batu melingkar, dan sisa endapan air di situs Pasir Eurih dan Cikundul memberikan petunjuk kuat tentang adanya aktivitas ritual. Para arkeolog menduga, masyarakat zaman Mesolitikum di sana hidup semi-nomaden dan mulai membentuk komunitas kecil berbasis spiritualitas.
Beberapa simbol ukiran di batu (petroglyph) yang ditemukan dekat aliran Sungai Cipelang menggambarkan figur manusia sedang menghadap ke matahari atau air, dipercaya sebagai bentuk awal pemujaan terhadap alam.
Pangguyangan dan Warisan Budaya Kini
Meskipun zaman telah berganti, nilai pangguyangan tetap hidup dalam budaya Sunda. Tradisi kungkum (berendam untuk bersuci), ruwatan (ritual tolak bala), dan penggunaan air dalam upacara adat seperti mapag panganten hingga nyekar masih mencerminkan akar dari praktik spiritual ribuan tahun lalu.
“Kami ti mana? Kami ti cai, ti angin, ti taneuh… jeung ti haté.”
(Kita berasal dari air, dari angin, dari tanah… dan dari hati.)
Begitulah Mbah Udin menyimpulkan.
Di tengah dunia modern, barangkali kita perlu kembali sejenak ke pangguyangan—bukan untuk mandi semata, tapi untuk mengenali siapa diri Kita.
Editor. : Dewi Condro.
Redaksi : tarnabakunews.com
Leave a Reply