Abad ke-5 Tahun 437 M.
Pemberontakan Cakrawarman, Luka dalam Sejarah Tarumanegara.
Oleh: Mbah Udin
Edisi 11 Juli 2025.
Gunung Padang, Pasisir Barat Priangan – 437 Masehi
Bayang-bayang kekuasaan besar yang dibangun Raja Purnawarman tampaknya mulai digoyang dari dalam takhta. Pada tahun 437 Masehi, meletus sebuah pemberontakan internal yang digerakkan oleh salah satu putra mahkota: Cakrawarman, anak kedua dari mendiang Purnawarman, yang merasa berhak atas takhta Tarumanegara menggantikan kakaknya, Wisnuwarman.

Perebutan Tahta yang Berdarah
Setelah wafatnya Purnawarman pada 434 M, Wisnuwarman naik takhta secara sah berdasarkan wasiat raja tua. Namun, di kalangan bangsawan dan senapati militer, beredar ketidakpuasan. Cakrawarman, yang dikenal sebagai panglima muda yang karismatik dan cakap dalam strategi perang, mulai mengumpulkan kekuatan dari wilayah timur dan selatan kerajaan—termasuk para pendukungnya di pesisir Cisadane dan hutan-hutan bekas wilayah Salakanegara.
“Ini bukan hanya soal takhta,” ujar seorang tokoh tua dalam naskah kuno yang kami pelajari di Padjajaran. “Ini soal siapa yang membawa warisan darah paling kuat dari leluhur suci.”

Pertempuran di Sungai Gomati
Pemberontakan memuncak dalam pertempuran besar di sekitar Sungai Gomati, sebelah utara Karawang masa kini. Pasukan kerajaan di bawah Wisnuwarman mengalami tekanan hebat dari serangan-serangan gerilya Cakrawarman yang mengandalkan taktik sembunyi-muncul di rawa-rawa dan hutan.
Namun, pada bulan ke-8, pasukan kerajaan berhasil memukul mundur pasukan Cakrawarman berkat bantuan laskar dari wilayah barat—kemungkinan besar para mantan prajurit Salakanegara yang tetap setia pada garis resmi istana

Akhir Tragis Sang Pemberontak
Cakrawarman tertangkap hidup-hidup setelah kudanya terperosok dalam rawa. Menolak tunduk, ia dikabarkan bunuh diri dengan keris warisan ayahnya sebelum dibawa ke istana.
Menurut naskah Batu Taruma yang terfragmentasi, jenazahnya tidak dimakamkan di kompleks raja, melainkan dikubur diam-diam di kaki Gunung Kendeng, jauh dari keramaian, sebagai simbol pengkhianat yang gagal.
Peristiwa ini menyisakan luka sejarah, namun juga pelajaran: bahwa kerajaan besar pun rentan oleh konflik internal bila tidak ada kejelasan suksesi dan pemersatu kebangsaan.

Kini, kita menatap kembali sejarah itu bukan untuk membuka luka, tetapi untuk menyadari bahwa persatuan adalah pondasi peradaban.
Editor: Dewi Condro
Redaksi: Tarnabakunews.com
Uri – Uri budaya, Menembus Masa, Merawat Makna, Santai, Santun, Simpel, Supel, Sembodo.
Tetap dengan Sorot Mata Berita Fakta Bukan Rekayasa.
Leave a Reply