Gus Abdul Latif: Menilai Tradisi Pesantren Dengan Kacamata Barat Adalah Kekeliruan Peradaban

Jombang – tarnabakunews.com

Publik tanah air belakangan dihebohkan oleh tayangan salah satu program di Trans 7 yang menyorot kehidupan di pesantren dengan nada miring. Dalam segmen tersebut, tradisi santri yang ngabdi kepada kiai disebut sebagai bentuk “perbudakan modern.” Tayangan itu sontak memicu gelombang kecaman dari berbagai element masyarakat, terutama dari lingkungan pesantren dan pemerhati budaya Nusantara.

Menanggapi hal tersebut, Gus Abdul Latif Malik, Pengasuh Asrama Ar-Rohmah Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang pada hari Rabu ( 22/10/2025) menilai bahwa klaim tersebut mencerminkan kekeliruan perspektif peradaban.

“Menilai tradisi pesantren dengan logika budaya Barat adalah bentuk penghakiman kultural yang keliru. Dalam khazanah pesantren, khidmah bukanlah perbudakan, melainkan pendidikan spiritual yang menanamkan nilai keikhlasan, kesabaran, dan tanggung jawab,” tegasnya.

Menurut Gus Latif, yang terjadi bukan sekadar perdebatan moral, melainkan benturan nilai antara dua sistem budaya. Ia menilai, kesalahan besar terjadi ketika suatu peradaban mengukur budaya lain dengan standar dirinya sendiri.

“Ketika satu budaya menilai budaya lain dengan ukuran tunggal, yang muncul bukan dialog peradaban, tapi penghakiman tanpa konteks. Setiap peradaban memiliki sejarah dan pandangan dunianya sendiri,” ujar Gus Latif.

Ia menambahkan, dalam percakapan global modern, nilai-nilai Barat seperti “kesetaraan mutlak” dan “kebebasan absolut” sering dijadikan tolok ukur universal. Padahal, nilai-nilai itu lahir dari sejarah dan pengalaman sosial yang berbeda jauh dari peradaban Timur yang menekankan harmoni, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial. Islam Mengajarkan Penghormatan terhadap Keberagaman

Gus Latif mengutip firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menegaskan bahwa manusia diciptakan berbeda agar saling mengenal, bukan untuk diseragamkan.

“Ketika satu budaya memaksakan ukurannya kepada budaya lain, sejatinya ia sedang menolak kehendak Tuhan atas keberagaman,” jelasnya.

Karena itu, lanjutnya, penghakiman terhadap tradisi pesantren dengan logika Barat bukan hanya kesalahan ilmiah, tetapi juga pelanggaran etika keberagaman.

Lebih lanjut, Gus Latif menegaskan bahwa tradisi penghormatan santri kepada kiai seperti membantu, menata sandal, hingga mencium tangan gurungerakar dari ajaran Islam dan nilai syariah.

Ia mencontohkan riwayat dari Ibnu Abbas RA yang memegangkan tali unta Zaid bin Tsabit RA sebagai bentuk penghormatan kepada ulama. “Ini bukan simbol keterbelakangan, tapi wujud adab dan cinta ilmu,” imbuhnya.

Dalam pandangan Gus Latif, dunia saat ini sedang menghadapi bentuk baru kolonialisme: penjajahan makna dan nilai.

“Nilai-nilai yang diklaim universal sering membawa misi ideologis. Inilah bentuk baru dominasi kultural yang perlahan menghapus identitas lokal dan spiritualitas Timur,” tegasnya.

Ia menilai bahwa ketika Barat memosisikan dirinya sebagai ukuran tunggal bagi kemanusiaan, dunia kehilangan harmoni dan krisis etika global pun tak terelakkan.

Kesadaran Peradaban adalah Menghormati Sebelum Menghakimi. Menutup pernyataannya, Gus Latif menyerukan pentingnya kesadaran peradaban dalam menyikapi perbedaan.

“Peradaban yang benar-benar beradab bukan yang paling seragam, melainkan yang paling mampu menghormati perbedaan. Menghormati perbedaan bukan sekadar sopan santun budaya, tapi wujud kecerdasan spiritual,” pungkasnya.

Kabiro Jombang: Mif
Editor : Dewi Condro.
Redaksi : tarnabakunews.com.
Santai Santun Supel Simpel Sembodo Tetap dengan Sorot Mata Berita Fakta Bukan Rekayasa

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *