Data Kemiskinan BPS Dinilai tidak Valid, Hambatan kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Data Kemiskinan BPS Dinilai tidak Valid, Hambatan kebijakan Pengentasan Kemiskinan.

JAKARTA, tarnabakunews.com, 27 Juli 2025 – Angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai tidak lagi valid dan tidak sesuai dengan realitas ekonomi di lapangan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, dalam pernyataannya di Jakarta pada Minggu (27/7/2025).

mendesak reformasi menyeluruh dalam metodologi pengukuran kemiskinan nasional.
BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 8,47% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 23,8 juta jiwa, yang merupakan penurunan 0,1 persen poin dibandingkan September 2024. Namun, Bhima Yudhistira meyakini bahwa angka penduduk miskin yang aktual di lapangan jauh lebih tinggi dari data pemerintah.
Menurut Bhima, BPS telah menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan berbasis pengeluaran yang tidak banyak berubah selama hampir lima dekade, sehingga tidak lagi relevan dengan dinamika ekonomi saat ini. “Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan sama saja datanya kurang valid,” tegasnya.


Kesenjangan Data dan Implikasi Kebijakan
Bhima menyoroti kesenjangan mencolok antara data kemiskinan resmi pemerintah Indonesia dan data lembaga internasional. Laporan terbaru World Bank menunjukkan bahwa sekitar 68,2% penduduk Indonesia, setara dengan 194,4 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Disparitas delapan kali lipat ini, dibandingkan dengan data BPS yang hanya mencatat 8,57% atau 24,06 juta orang miskin, mengindikasikan masalah fundamental dalam definisi dan pengukuran kemiskinan.
Masalah data kemiskinan ini berdampak serius pada pengambilan kebijakan pemerintah. Klaim keberhasilan program perlindungan sosial, pertanian, MBG, dan hilirisasi dinilai tidak sepenuhnya tercermin dari data BPS.

Akibatnya, data BPS tidak dapat menjadi acuan efektif untuk program bantuan sosial, memaksa pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar untuk identifikasi penerima manfaat.
“Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang berbeda dengan BPS,” tambah Bhima.
Mendesak Reformasi Metodologi dan Pendekatan Holistik
Bhima menilai bahwa reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional sangat mendesak. Ia mengutip contoh negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa yang secara berkala menyesuaikan metodologi mereka seiring perkembangan sosial ekonomi, dan menyarankan Indonesia untuk mengikuti langkah serupa.
Perubahan ini, meskipun membutuhkan keberanian politik, sangat krusial. Bhima mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral. Perpres ini diharapkan menjadi dasar bagi integrasi data, sinkronisasi indikator, dan penyesuaian seluruh program pengentasan kemiskinan ke depan.
Namun, Bhima mengingatkan bahwa langkah ini hanya akan efektif jika data kemiskinan tidak lagi dipolitisasi. Jika angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika belaka.
Sebagai alternatif, Bhima mengusulkan agar ukuran kesejahteraan tidak lagi berbasis total pengeluaran, tetapi pada pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), yaitu pendapatan bersih yang tersedia setelah dikurangi kewajiban pokok seperti pajak dan kebutuhan dasar.

Untuk menilai efektivitas kebijakan pemerintah dalam memperbaiki kehidupan masyarakat, Bhima menyarankan perbandingan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal. Selain itu, indikator kesejahteraan masyarakat lainnya juga harus dievaluasi secara bersamaan dalam satu paket pembangunan, meliputi akses terhadap pendidikan, perumahan dan kesehatan, upah yang layak, jaminan hari tua, angka pengangguran dan PHK, serta tingkat kejahatan dan korupsi.
“Saat ini pemerintah hanya memilih data-data yang positif, dengan landasan metodologi yang lemah dan pada saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya. Kita lebih baik menggunakan data dengan benar untuk melihat fakta yang ada, ketimbang memoles data hanya untuk kepentingan pencitraan,” pungkas Bhima.

Reporter : Sholic.
Editor. : Dewi Condro.
Redaksi. : tarnabakunews.com.
Santai Santun Supel Simpel Sembodo Tetap dengan Sorot Mata Berita Fakta Bukan Rekayasa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *